KUNINGAN – Keaktifan para pejabat publik di media sosial kini menjadi fenomena umum di Kabupaten Kuningan. Dari bupati, kepala dinas hingga pejabat di lingkup BUMD, nyaris semuanya memiliki akun pribadi yang mempublikasikan berbagai aktivitas mereka. Namun, tak sedikit yang mempertanyakan efektivitas dan orientasi dari kehadiran digital tersebut.
Di tengah tuntutan transparansi dan keterbukaan, media sosial seharusnya menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Tapi realitas di lapangan memperlihatkan masih adanya kesenjangan antara eksistensi dan interaksi. Banyak akun aktif memposting kegiatan, namun enggan merespon komentar warga yang berisi keluhan, saran, atau bahkan kritik tajam.
Menurut pengamat kebijakan publik Asep Z. Fauzi, kehadiran pejabat di media sosial seharusnya tidak hanya dilihat sebagai panggung pencitraan. Lebih dari itu, ia menyebut medsos sebagai medan interaksi sosial yang menuntut kepekaan dan kesiapan mental.
“Banyak warga yang menjadikan medsos sebagai alternatif untuk menyampaikan unek-unek, karena tidak tahu harus mengadu ke mana. Tapi sayangnya, komentar-komentar ini malah diabaikan, bahkan ada yang diblokir,” ujarnya.
Asep menilai, tantangan utama pejabat di ruang digital adalah bagaimana membangun komunikasi dua arah secara profesional. Ia menekankan bahwa menjadi pejabat berarti bersedia terbuka terhadap suara publik, sekalipun disampaikan dengan nada keras atau tidak nyaman.
“Kita tidak sedang bicara soal siapa yang lebih eksis, tapi siapa yang lebih siap mendengar dan bertindak. Kalau hanya membagikan foto kegiatan lalu menutup telinga terhadap komentar publik, itu namanya bukan keterbukaan, tapi sekadar etalase kosong,” tegasnya.
Kondisi ini, lanjut Asep, perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan daerah. Ia mendorong perlunya kebijakan tata kelola media sosial di lingkungan pemerintahan, yang tidak hanya mengatur konten, tetapi juga etika berinteraksi, sistem respon, hingga mekanisme evaluasi berkala.
“Sudah ada banyak dasar hukum yang bisa dirujuk. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian kepala daerah untuk menyusun panduan teknis dan membentuk tim pengelola medsos yang profesional di tiap instansi,” jelasnya.
Ia juga mengkritisi kecenderungan sebagian pejabat yang lebih menonjolkan sisi personal seperti hobi, wisata, hingga konten-konten yang tidak berkaitan dengan tugas publik. Menurutnya, hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat tentang fungsi dan akuntabilitas sang pejabat.
“Kalau ingin tampil santai, boleh saja. Tapi jangan abaikan bahwa Anda pejabat yang digaji rakyat. Publik berhak tahu apa saja program yang Anda jalankan dan bagaimana progresnya,” kata Asep.
Ia menutup dengan ajakan kepada para pejabat untuk memanfaatkan medsos sebagai ruang dialog, bukan sekadar pajangan digital. “Tanggap, terbuka, dan konsisten—itulah kunci profesionalisme dalam berkomunikasi di era digital.”

