KUNINGAN — Kasus dugaan pemerasan terhadap investor serta perusakan kawasan konservasi yang menyeret pejabat Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) dan manajemen PAM Tirta Kemuning (PDAM Kuningan) kini menjadi sorotan publik. Dugaan tersebut disampaikan Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, dalam keterangan resminya pada 24 November 2025.
Menurut Uha, rangkaian peristiwa yang terjadi telah membentuk konstruksi tindak pidana yang mengarah pada pemufakatan jahat. BTNGC diduga meminta sejumlah uang kepada investor melalui PDAM untuk kepentingan tertentu tanpa dasar hukum jelas. Permintaan tersebut disebut disampaikan kepada PT Tirta Kuning Ayu Sukses, perusahaan yang menjadi mitra PAM Tirta Kemuning dalam proyek penjualan air baku.
“PDAM semestinya menolak dan melaporkan jika mengetahui permintaan itu tidak memiliki dasar hukum. Tetapi faktanya PDAM justru memfasilitasi dengan menyampaikan permintaan tersebut kepada investor,” ujar Uha.
Ia menilai langkah PDAM tersebut memenuhi unsur mens rea dalam dugaan tindak pidana pemerasan dan gratifikasi, terlebih para pejabat BTNGC yang terlibat merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (b) dan (e) Undang-Undang Tipikor.
Dugaan Perusakan Kawasan Konservasi
Selain dugaan pemerasan, BTNGC dan PDAM juga disorot terkait pemasangan pipa berukuran 12 inci sepanjang sekitar 300 meter di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Pemasangan pipa di area konservasi tanpa izin itu dinilai melanggar UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Padahal, SK Dirjen KSDAE Nomor SK.193/KSDAE/RKK/KSA.0/10/2022 menegaskan bahwa Kepala BTNGC bertanggung jawab sebagai pengelola kawasan konservasi dan mengetahui penuh aturan pelarangan perambahan hutan.
“Pipa yang jelas-jelas merusak kawasan konservasi sampai hari ini belum dibongkar,” kata Uha.
Bentrokan Regulasi dan Kebijakan Gubernur
Kasus ini mencuat tidak lama setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menerbitkan Surat Edaran Nomor 26/PM.05.02/PEREK pada 19 Maret 2025. SE tersebut memerintahkan penghentian sementara penerbitan izin pemanfaatan lahan di kawasan hutan dan perkebunan, kecuali untuk kegiatan perlindungan lingkungan.
Uha menilai tindakan pejabat BTNGC dan PDAM yang tetap melanjutkan aktivitas mencurigakan tersebut sama saja dengan melawan kebijakan resmi Gubernur.
Penjualan Air Diduga Ilegal
Selain itu, PAM Tirta Kemuning juga diduga menjual air secara diam-diam kepada salah satu anak perusahaan PT Tirta Kuning Ayu Sukses tanpa sepengetahuan publik maupun Kuasa Pemilik Modal (KPM). Air tersebut berasal dari limpasan mata air Talaga Remis dan Talaga Nilem yang sebenarnya diperuntukkan bagi kebutuhan irigasi petani.
Aktivitas penjualan air tersebut disebut ilegal karena tidak mengantongi izin dari Dinas PUTR maupun Balai Konservasi SDA (BKSDA). Kondisi ini memicu protes keras dari warga dan petani yang merasa kebutuhan air mereka terganggu.
Polisi Telah Menangani Kasus
Unit Tipikor Polres Kuningan kini tengah menangani kasus tersebut. Uha memastikan bahwa tindakan PDAM dilakukan tanpa sepengetahuan Bupati Kuningan selaku KPM. Oleh karena itu, ia menilai direksi PDAM harus bertanggung jawab penuh atas keputusan-keputusan yang dianggap merugikan daerah dan mencederai komitmen Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
“Kesalahan fatal ini murni perbuatan oknum manajemen PDAM yang nekat melanggar aturan dan mengganggu iklim investasi,” tegasnya.

