Kuningan – Dalam momentum silaturahim Idul Fitri 1446 H sekaligus sarasehan keluarga besar keturunan Eyang Hasan Maolani, Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si., menyampaikan apresiasi dan penghormatan mendalam atas jasa besar Kyai Hasan Maolani sebagai ulama dan pejuang anti-kolonial. Acara tersebut digelar di Saung Petilasan Eyang Hasan Maolani, Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, pada Kamis (3/4/2025).
Kyai Hasan Maolani—yang akrab disebut Eyang Hasan Maolani—lahir di Kuningan pada 8 Jumadil Akhir 1196 H atau 22 Mei 1782 M. Semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai ulama besar yang konsisten membela akidah umat sekaligus pejuang tangguh melawan penjajahan Belanda. Penolakannya terhadap sistem upeti, pajak gendongan, dan tanam paksa membuatnya menjadi ancaman bagi pemerintah kolonial.
Akibat aktivitas perlawanan tersebut, pada tahun 1841, Kyai Hasan Maolani ditangkap Belanda dan ditahan di Cirebon selama tiga bulan. Karena banyaknya penjenguk dari kalangan ulama dan santri, beliau kemudian dipindahkan ke Batavia dan kembali dipindahkan ke Menado, Sulawesi Tenggara, sebagai tahanan negara. Beliau wafat dalam pengasingan pada 29 April 1874.
Dalam sambutannya, Bupati Kuningan menyatakan niat Pemerintah Daerah untuk mengusulkan Kyai Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional serta menjadikan saung petilasan beliau sebagai situs edukasi sejarah dan destinasi wisata religi di Kuningan.
“Salah satu bentuk penghargaan nyata, kami tengah memproses usulan perubahan nama Jalan Lingkar Utara—mulai dari Tugu Ikan Sampora hingga Tugu Sajati—menjadi Jalan Eyang Hasan Maolani. Ini sebagai pengingat sejarah dan inspirasi perjuangan untuk generasi kini dan mendatang,” ujar Bupati Dian Rachmat Yanuar.
Menanggapi hal tersebut, H. Yusron Kholid, mantan Kepala Kemenag Kuningan sekaligus cicit Eyang Hasan Maolani, menyampaikan rasa syukur dan apresiasi atas kebijakan tersebut.
“Saya sungguh bersyukur atas upaya Bupati Kuningan dalam meneguhkan penghormatan terhadap perjuangan ulama besar asli Kuningan ini. Kyai Hasan Maolani bukan hanya milik dzuriyyah-nya, tapi adalah aset historis masyarakat Kuningan dan Tatar Sunda, serta bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa,” ujarnya.
Langkah ini diharapkan menjadi pengingat akan pentingnya peran ulama dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia serta memperkuat identitas kesejarahan lokal di tengah masyarakat.

