KuninganId – Tagar #KaburAjaDulu telah menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama di platform X (sebelumnya Twitter), TikTok, dan Instagram, dalam beberapa minggu terakhir. Tagar ini mencerminkan keresahan dan kekecewaan generasi muda Indonesia terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di dalam negeri, yang mendorong keinginan untuk mencari peluang hidup yang lebih baik di luar negeri.
Tagar #KaburAjaDulu mulai ramai sejak Desember 2024, awalnya sebagai ruang diskusi untuk berbagi informasi terkait peluang kerja, beasiswa, dan tips adaptasi di luar negeri. Namun, seiring waktu, tagar ini berkembang menjadi simbol protes terhadap berbagai isu dalam negeri, seperti:
- Kesulitan mencari pekerjaan yang layak sesuai kualifikasi.
- Kenaikan biaya hidup dan beban pajak yang dirasa tidak seimbang dengan fasilitas publik.
- Ketidakpastian karier dan transparansi penggunaan anggaran pemerintah.
- Kesenjangan sosial, akses pendidikan, dan layanan kesehatan yang masih terbatas.
Menurut psikolog Tiara Puspita, M.Psi., tagar ini tidak hanya sekadar ajakan untuk “kabur,” tetapi juga bentuk ekspresi ketidakberdayaan generasi muda menghadapi masalah struktural yang sulit diubah. “Ini adalah bentuk protes dari perasaan ketidakpastian. Daripada bertahan dalam situasi sulit, mereka mencari peluang di luar negeri,” ujar Tiara.
Tagar ini telah digunakan lebih dari 24 ribu kali di platform X hingga pertengahan Februari 2025, dengan unggahan yang beragam, mulai dari keluhan terhadap kebijakan pemerintah hingga cerita pengalaman bekerja di luar negeri. Beberapa isu yang menjadi sorotan meliputi:
- Pemutusan hubungan kerja (PHK) di TVRI dan RRI akibat efisiensi anggaran.
- Prediksi kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh Kementerian Pendidikan.
- Pemblokiran anggaran untuk Ibu Kota Nusantara (IKN), yang dianggap menunjukkan kurangnya kelancaran proyek.
Sejumlah warganet juga membagikan pengalaman hidup di luar negeri, seperti di Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat, yang dianggap menawarkan peluang kerja dan kualitas hidup lebih baik. Namun, ada pula yang mengingatkan tantangan adaptasi, seperti biaya hidup tinggi, perbedaan budaya, dan risiko isolasi sosial.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI merespons fenomena ini dengan menegaskan bahwa bekerja atau tinggal di luar negeri adalah hak setiap warga negara, tetapi harus dilakukan melalui jalur legal dan prosedural. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu, Judha Nugraha, mengingatkan pentingnya riset dan persiapan matang. “Banyak kasus pelanggaran keimigrasian terjadi karena jalur non-prosedural. Migrasi aman perlu ditingkatkan,” tegasnya.
Sosiolog Musni Umar dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai fenomena ini mencerminkan ketidakpastian masa depan generasi muda yang terdidik, dengan tingkat pengangguran tinggi di kalangan lulusan S1 hingga S3. “Namun, pemerintah diharapkan dapat memberikan harapan baru melalui perbaikan sistem,” ujarnya.
Psikolog Klinis Fifi Pramudika menyebut tagar ini sebagai “dua mata pisau.” Di satu sisi, mencari peluang di luar negeri bisa menjadi solusi untuk karier dan kesejahteraan. Namun, di sisi lain, ada risiko dampak psikologis seperti FOMO (Fear of Missing Out) atau kesulitan beradaptasi. “Cek kemampuan mandiri dan pastikan keputusan ini bukan hanya ikut-ikutan tren,” katanya.
Fenomena #KaburAjaDulu memicu diskusi penting tentang perbaikan kondisi dalam negeri, seperti:
- Peningkatan kesempatan kerja dan penghargaan terhadap inovasi.
- Reformasi sistem pendidikan dan kesehatan yang lebih inklusif.
- Transparansi kebijakan pemerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Bagi mereka yang memilih bertahan, psikolog menyarankan untuk mengoptimalkan potensi lokal dengan mengembangkan keterampilan dan kreativitas. “Sesuaikan kemampuan diri agar tidak merasa FOMO. Kita punya kelebihan yang bisa dikreasikan di sini,” ujar Tiara.
Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial, tetapi cerminan aspirasi dan kekecewaan generasi muda Indonesia. Meskipun mencari peluang di luar negeri adalah pilihan sah, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif di dalam negeri. Fenomena ini menjadi pengingat bahwa perbaikan sistem adalah kunci untuk mempertahankan talenta muda dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.(iak)

