KUNINGAN– Rencana pembangunan menara telekomunikasi (tower BTS) di Desa Muncangela, Kecamatan Cipicung, menuai penolakan keras dari warga. Mereka menilai proyek tersebut dijalankan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan tidak sesuai dengan hasil musyawarah desa yang telah dilakukan sebelumnya.
Menurut keterangan Komarudin Humaedi, perwakilan warga, dalam musyawarah desa pertama yang dihadiri Camat Cipicung, BPD, LPM, serta tokoh masyarakat, disepakati bahwa pembangunan menara harus didahului dengan musyawarah tingkat dusun (musdus) untuk menjaring pendapat warga secara menyeluruh.
“Dari hasil musyawarah itu, warga secara bulat menolak pembangunan tower. Tapi kami terkejut ketika proyeknya tetap berjalan tanpa musyawarah lanjutan sebagaimana disepakati,” ungkap Komarudin, Rabu (5/11).
Ia menilai langkah pemerintah desa melanjutkan proyek tersebut tanpa persetujuan warga sebagai bentuk ketidaktransparanan dan dugaan penyalahgunaan wewenang.
“Kepercayaan kami semakin hilang. Kebijakan desa seharusnya mencerminkan suara masyarakat, bukan keputusan sepihak,” tegasnya.
Selain menyoroti proses pengambilan keputusan, warga juga mengaku mendengar adanya isu pembagian uang kepada sejumlah pihak yang dikaitkan dengan proyek menara tersebut. Komarudin menyebut kabar itu kian memperkeruh suasana dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“Kami tidak ingin desa kami diadu domba. Warga menolak pembangunan tower sebelum ada musyawarah resmi yang melibatkan seluruh pihak,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Muncangela, Enco Carsa, saat dikonfirmasi, menyebut pembangunan tower akan membawa manfaat ekonomi bagi desa, terutama dari sisi pendapatan asli desa (PAD). Namun pernyataan tersebut dinilai warga mengabaikan potensi konflik sosial dan kepentingan bersama.
Menurut Komarudin, pendekatan kepala desa yang hanya menitikberatkan pada aspek materi dianggap mengabaikan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan prinsip musyawarah mufakat.
Sebagai dasar penolakannya, warga merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang secara tegas melarang pejabat pemerintahan menyalahgunakan wewenang. Dalam Pasal 17 disebutkan tiga bentuk larangan: melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.
“Ini bukan sekadar soal menara, tapi soal keadilan dan keterbukaan. Kami ingin pemerintah desa menghargai suara masyarakat,” tutur Komarudin.
Warga menyatakan akan terus memperjuangkan aspirasi mereka hingga tuntas. Mereka bahkan siap menggelar aksi dengan massa yang lebih besar jika aspirasi terus diabaikan.
“Jika perlu, kami akan datang dengan jumlah lebih banyak lagi. Karena bagi kami, ini menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa,” tandasnya.
Lebih jauh, Komarudin menilai perjuangan ini juga menjadi momentum untuk menuntut transparansi dalam pengelolaan keuangan dan program desa lainnya, agar pemerintahan benar-benar berpihak kepada rakyat.
“Kami berharap pemerintah desa belajar dari pengalaman ini, bahwa musyawarah dan keterbukaan adalah kunci keharmonisan antara pemerintah dan masyarakat,” simpulnya.

