KUNINGAN – Klaim dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kuningan mencapai 10,4 persen pada Triwulan II 2025 dan menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa, menuai sorotan tajam dari kalangan legislatif. Ketua DPRD Kabupaten Kuningan, Nuzul Rachdy SE, menilai bahwa data tersebut perlu diklarifikasi karena tidak sejalan dengan kondisi sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat.
Menurut Nuzul, angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi terasa tidak logis jika dibandingkan dengan data BPS sebelumnya yang masih mencatat kemiskinan ekstrem di Kuningan.
“Kita tentu patut bersyukur kalau ekonomi daerah tumbuh, tetapi yang jadi pertanyaan, katanya masih ada kemiskinan ekstrem di Kuningan, kok tiba-tiba sekarang jadi daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Pulau Jawa? Ini kan aneh dan perlu dijelaskan,” ujar Nuzul pada Kamis (30/10/2025).
Nuzul menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar angka yang menanjak di atas kertas.
“Jangan sampai kita terjebak pada euforia statistik. Faktanya di lapangan, harga-harga kebutuhan pokok terus naik. Ini realitas yang harus kita lihat,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, pertumbuhan ekonomi hanya akan berarti jika mampu meningkatkan daya beli masyarakat dan menekan beban hidup warga berpenghasilan rendah.
“Dalam hal MBG saja, kenaikan harga mungkin menguntungkan produsen. Tapi bagi masyarakat menengah ke bawah, ini berat. Pemerintah harus menjaga keseimbangan agar pertumbuhan ekonomi tidak justru membuat rakyat semakin terbebani,” ujarnya.
Ketua DPRD Kuningan itu juga meminta agar BPS dan Pemerintah Kabupaten Kuningan segera melakukan sinkronisasi data agar tidak muncul kebingungan publik akibat perbedaan indikator.
“Kalau kemiskinan ekstrem masih tinggi tapi pertumbuhan ekonomi juga tertinggi, berarti ada yang tidak sinkron. Jangan sampai data ini hanya jadi pencitraan tanpa melihat fakta di lapangan,” tambahnya.
Pandangan senada disampaikan oleh pengamat politik Kuningan, Sujarwo alias Mang Ewo. Ia menilai klaim pertumbuhan ekonomi dua digit perlu ditinjau ulang karena tidak mencerminkan kesejahteraan nyata masyarakat.
“Grafiknya memang naik, tapi perut rakyat malah turun. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia angka tanpa melihat kondisi riil di pasar dan kampung-kampung,” ujar Mang Ewo.
Mang Ewo mencontohkan, harga kebutuhan pokok seperti telur ayam kini menembus Rp30 ribu per kilogram, membuat banyak warga hanya mampu membeli setengah kilogram untuk kebutuhan harian.
“Coba turun ke pasar pagi-pagi. Banyak ibu-ibu sekarang beli telur setengah kilo, beras pun dikurangi takarannya. Ini fakta yang tidak bisa disembunyikan oleh grafik pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Ia menduga lonjakan angka pertumbuhan ekonomi Kuningan lebih banyak disumbang dari investasi besar dan proyek konstruksi, bukan dari sektor ekonomi rakyat kecil.
“Kalau yang tumbuh cuma investasi besar, sementara pedagang kecil dan buruh harian masih megap-megap, ya pertumbuhan itu semu. Ekonomi sehat itu ketika pasar ramai pembeli, bukan ramai spanduk proyek,” tegasnya.
Mang Ewo mengingatkan agar Pemkab Kuningan tidak larut dalam euforia statistik, melainkan fokus pada kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, seperti harga pangan, biaya sekolah, dan lapangan kerja.
“Kalau rakyat masih susah beli telur, berarti ekonomi belum pulih. Jadi jangan terlalu cepat bilang Kuningan hebat, sementara dapur rakyat belum ngebul,” sindirnya.
Ia menutup pernyataannya dengan pesan agar pemerintah tidak hanya berpatokan pada angka, tetapi juga memperhatikan “rasa” yang dirasakan masyarakat.
“Saya tidak anti-data. Tapi data harus dikonfirmasi dengan rasa. Pertumbuhan ekonomi sejati itu bukan di laporan BPS, tapi di senyum rakyat saat belanja di pasar,” pungkasnya.

